Antara Mimpi dan Realita: Mengapa Pragmatisme “Menggerogoti” Idealisme Pendidikan SMA/SMK di Indonesia?

Puguh Sulistyo Pambudi

May 9, 2025

4
Min Read
Mengapa Pragmatisme "Menggerogoti" Idealisme Pendidikan SMA/SMK di Indonesia

Pendidikan seringkali diwarnai oleh dua kutub yang saling tarik-menarik: idealisme dan pragmatisme. Idealisme membentangkan visi mulia tentang pendidikan sebagai wahana pengembangan potensi utuh individu, menanamkan nilai-nilai luhur, dan menumbuhkan semangat belajar yang membara. Sementara itu, pragmatisme menjejakkan kaki lebih erat pada realita, menekankan pada apa yang “bekerja” dan “bermanfaat” dalam konteks dunia nyata, terutama dalam mempersiapkan lulusan untuk tantangan masa depan dan dunia kerja.

Di Indonesia, khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), tarikan antara kedua kutub ini semakin terasa. Artikel ini akan mengupas bagaimana gelombang pragmatisme dalam sistem dan praktik pendidikan saat ini berpotensi “menggerogoti” idealisme yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan yang kokoh.

Benturan Idealisme dan Pragmatisme dalam Pendidikan

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, idealisme dalam pendidikan SMA/SMK di Indonesia dapat diartikulasikan dalam mimpi-mimpi tentang:

  • Kesempatan yang setara: Setiap siswa, tanpa memandang latar belakang, memiliki akses pada pendidikan berkualitas yang mengembangkan potensi unik mereka.
  • Guru sebagai inspirator: Pendidik bukan hanya penyampai materi, tetapi juga sosok yang membimbing dengan penuh dedikasi, menanamkan nilai-nilai, dan memantik rasa ingin tahu siswa.
  • Pembelajaran holistik: Pendidikan tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pengembangan karakter, kreativitas, pemikiran kritis, dan keterampilan sosial-emosional.
  • Sekolah sebagai rumah kedua: Lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan kondusif untuk pertumbuhan pribadi dan akademik siswa.

Namun, realita di lapangan seringkali menunjukkan dominasi pendekatan pragmatis, yang tercermin dalam:

  • Orientasi pada hasil terukur: Fokus yang kuat pada nilai ujian (meskipun UN telah dihapus, dampaknya masih terasa), angka kelulusan, dan hasil Asesmen Nasional (AN) sebagai tolok ukur keberhasilan sekolah.
  • Kurikulum berbasis kompetensi dan “link and match” industri: Penekanan pada penguasaan keterampilan praktis yang dianggap relevan dengan kebutuhan dunia kerja, terutama di SMK, dan kecenderungan siswa SMA memilih jurusan berdasarkan prospek karir.
  • Beban administrasi guru: Guru seringkali disibukkan dengan tugas administratif dan pelaporan yang detail, yang dapat mengurangi waktu untuk interaksi yang lebih mendalam dengan siswa dan pengembangan metode pengajaran yang inovatif.
  • Pandangan masyarakat terhadap pendidikan sebagai tiket kerja: Ekspektasi yang tinggi bahwa lulusan SMA/SMK harus segera terserap di dunia kerja, yang secara tidak langsung mendorong fokus pada aspek-aspek yang dianggap paling “menjual” di pasar tenaga kerja.

Data dan Kasus Nyata yang Menggambarkan Erosi Idealisme

Beberapa fenomena dan data di lapangan memperkuat argumen tentang menguatnya pragmatisme dan potensi terkikisnya idealisme:

  • Popularitas “jurusan favorit” di SMK: Tingginya peminat pada jurusan-jurusan yang dianggap memiliki prospek kerja cerah, terkadang mengabaikan minat dan bakat siswa yang sebenarnya. Ini menunjukkan prioritas pada pertimbangan karir pragmatis.
  • Maraknya bimbingan belajar intensif: Fenomena ini, meskipun membantu siswa dalam menghadapi ujian atau asesmen, juga mengindikasikan fokus yang berlebihan pada hasil akhir dan kurangnya penekanan pada pemahaman konsep yang mendalam dan proses belajar yang menyenangkan.
  • Kurangnya apresiasi terhadap mata pelajaran humaniora dan seni: Persepsi bahwa mata pelajaran ini kurang “berguna” untuk karir masa depan dapat menyebabkan kurangnya perhatian dan sumber daya, padahal mata pelajaran ini penting untuk mengembangkan pemikiran kritis, kreativitas, dan kepekaan sosial.
  • Kesenjangan kualitas pendidikan: Ketidakmerataan akses dan kualitas pendidikan antar wilayah dan kelompok sosial menunjukkan bahwa idealisme tentang kesempatan yang setara masih jauh dari kenyataan. Fokus pragmatis pada efisiensi dan keterbatasan sumber daya terkadang mengorbankan upaya untuk mengatasi kesenjangan ini secara komprehensif.

Implikasi dan Tantangan ke Depan

Dominasi pragmatisme yang berlebihan dalam pendidikan SMA/SMK dapat membawa beberapa implikasi negatif:

  • Lulusan yang terampil namun kurang berkarakter: Fokus yang sempit pada keterampilan teknis dapat mengabaikan pengembangan nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab sosial.
  • Kreativitas dan inovasi yang terhambat: Pembelajaran yang terlalu terstruktur dan berorientasi pada hasil ujian dapat mematikan rasa ingin tahu dan semangat eksplorasi siswa.
  • Kesiapan mental dan emosional yang kurang: Tekanan untuk segera bekerja dan fokus pada aspek kognitif dapat mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional dan kemampuan beradaptasi siswa dalam menghadapi kompleksitas kehidupan.

Kesimpulan

Pendidikan SMA/SMK di Indonesia saat ini berada dalam pusaran tarikan antara idealisme dan pragmatisme. Meskipun orientasi pragmatis terhadap kebutuhan dunia kerja dan hasil yang terukur memiliki urgensinya, dominasi yang berlebihan berpotensi mengikis cita-cita ideal tentang pendidikan yang holistik dan membebaskan. Menemukan keseimbangan yang tepat antara mempersiapkan siswa untuk masa depan yang penuh tantangan dengan mengembangkan potensi unik mereka secara utuh adalah kunci untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan bermakna bagi generasi penerus bangsa. Diperlukan refleksi mendalam dan upaya kolektif dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa pragmatisme tidak sepenuhnya menenggelamkan mimpi-mimpi ideal tentang pendidikan Indonesia.

Leave a Comment

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia