Bayangkan skenario ini: Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Layar monitor memancarkan cahaya redup di ruangan yang gelap. Hanya ada kamu, sekaleng minuman energi (atau kopi hitam pekat), playlist Lo-Fi favorit yang mengalun di headphone, dan ribuan baris kode yang menunggu untuk ditulis. Deadline sudah di depan mata, tapi task di aplikasi project management rasanya sudah tidak relevan lagi. Kamu tidak lagi mengikuti user story yang kaku atau diagram UML yang rumit. Kamu hanya… ngoding. Jari-jarimu menari di atas keyboard, mengikuti alur intuisi. Kamu “merasakan” solusinya. Selamat, kamu sedang melakukan apa yang disebut “vibe coding”.
Fenomena ini—mengandalkan intuisi, flow state, dan “perasaan” alih-alih perencanaan metodis—sedang hangat dibicarakan. Di satu sisi, ia dipuja sebagai sumber kreativitas murni dan kecepatan super. Di sisi lain, ia dicaci maki sebagai biang kerok dari technical debt dan mimpi buruk maintenance. Jadi, apakah vibe coding ini berkah atau musibah bagi programmer modern? Mari kita bedah bersama.
Bagian 1: Sebenarnya, Apa Sih ‘Vibe Coding’ Itu?
Sebelum kita masuk ke perdebatan pro kontranya, kita perlu menyamakan persepsi dulu. Apa itu vibe coding?
Secara sederhana, vibe coding (atau intuitive coding, coding by feel) adalah praktik menulis kode berdasarkan intuisi, momentum, dan flow state, seringkali dengan mengabaikan (atau menunda) proses perencanaan formal, dokumentasi mendetail, atau metodologi pengembangan yang kaku seperti Agile atau TDD (Test-Driven Development).
Ini bukan berarti coding tanpa logika. Logikanya ada, tapi proses menemukannya tidak terstruktur. Programmer yang sedang “nge-vibe” mungkin bergumam, “Hmm, kayaknya kalau data ini dilempar ke fungsi ini, terus di-map, terus di-filter pakai logic ini… harusnya jalan, deh.” Mereka langsung mencobanya, melihat hasilnya (mungkin di hot-reload), dan mengoreksinya secara real-time. Prosesnya sangat iteratif dan cepat, didorong oleh siklus trial-and-error yang dipercepat oleh perasaan “ini kayaknya bener” atau “ini kayaknya salah”.
Ini adalah kebalikan dari coding “by the book”, di mana seorang engineer mungkin akan:
- Membaca spesifikasi detail (Spec).
- Membuat pseudocode atau diagram alur.
- Menulis unit test terlebih dahulu (TDD).
- Menulis kode agar tesnya pass (berhasil).
- Melakukan refactor (merapikan kode).
- Membuat dokumentasi.
Programmer yang vibe coding mungkin langsung melompat ke langkah 4, atau melakukan langkah 3 dan 4 secara bersamaan dalam pikirannya, dengan testing manual secepat kilat.
Bagian 2: Kenapa ‘Vibe Coding’ Mendadak Populer?
Fenomena ini bukan barang baru. Programmer veteran mungkin mengenalnya dengan istilah yang kurang keren, seperti “cowboy coding”. Tapi istilah “vibe” memberinya nuansa yang lebih modern dan positif. Popularitasnya didorong oleh beberapa faktor:
- Kultur Startup: Dunia startup hidup dari kecepatan. Slogan “Move Fast and Break Things” dari Facebook (sekarang Meta) adalah contoh sempurna. Investor dan pasar tidak mau menunggu enam bulan untuk produk yang sempurna. Mereka ingin MVP (Minimum Viable Product) dalam enam minggu. Vibe coding adalah cara tercepat untuk mengubah ide menjadi prototipe yang berfungsi.
- Kecanggihan Alat (Tools): Kita hidup di era hot-reloading (perubahan kode langsung terlihat di aplikasi), framework yang canggih, dan library yang melimpah. Dulu, programmer harus me-compile kode berulang kali (yang bisa memakan waktu lama) hanya untuk melihat perubahan kecil. Sekarang, feedback loop-nya instan. Ini membuat trial-and-error ala vibe coding jadi sangat efisien.
- Sisi Kreatif Development: Banyak yang lupa bahwa software development bukan hanya ilmu pasti; ia juga seni. Ada sisi kreatif dalam merancang solusi. Terkadang, ide terbaik tidak datang dari rapat perencanaan yang kaku, melainkan dari sesi “iseng” bereksperimen dengan kode.
- Generasi Baru: Programmer muda yang tumbuh dengan tools modern mungkin lebih nyaman dengan pendekatan yang lebih cair dan eksperimental, dibandingkan dengan programmer senior yang terlatih dengan metodologi yang lebih rigid.
Bagian 3: Sisi PRO – Berkah dari “Ngoding Pake Feeling”

Banyak programmer, bahkan yang paling senior sekalipun, akan mengakui bahwa di waktu dan tempat yang tepat, vibe coding terasa seperti memiliki superpower.
Pro 1: Kecepatan Super Gila (Extreme Speed)
Ini adalah keuntungan terbesar. Bayangkan sebuah tim harus membuat fitur baru.
- Tim Struktur: Menghabiskan satu minggu untuk sprint planning, memecah task, menulis user story detail, membuat mockup final, dan rapat teknis.
- Tim Vibe: Satu programmer senior yang “dapat ilham” mungkin bisa membuat prototipe fungsional dari fitur tersebut dalam satu malam.
Dalam situasi kejar tayang, seperti hackathon atau deadline klien yang tidak realistis, vibe coding seringkali menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan pekerjaan. Kemampuan untuk menerobos birokrasi perencanaan dan langsung “to the point” ke solusi adalah aset yang tak ternilai.
Pro 2: Memicu Kreativitas dan Inovasi
Struktur yang terlalu kaku bisa membunuh kreativitas. Saat seorang programmer hanya fokus mengikuti spesifikasi, mereka mungkin melewatkan solusi yang lebih elegan atau inovatif yang berada di luar jalur yang telah ditentukan.
Vibe coding adalah tentang eksplorasi. “Gimana kalau kita pakai algoritma ini?” “Gimana kalau struktur datanya dibalik?” Eksperimen-eksperimen “iseng” ini seringkali melahirkan “happy accidents”—solusi yang tidak terduga namun jauh lebih baik daripada yang direncanakan. Ini adalah cara otak kita memecahkan masalah kompleks yang jalannya belum jelas: dengan mencoba-coba.
Pro 3: Mencapai ‘Flow State’ (The Zone)
Ini adalah alasan psikologis mengapa programmer suka vibe coding. Flow state (atau “The Zone”) adalah kondisi mental di mana seseorang tenggelam sepenuhnya dalam aktivitasnya. Waktu terasa berhenti, fokus menajam, dan produktivitas meroket.Vibe coding seringkali merupakan hasil dari flow state. Ketika seorang programmer sudah sangat memahami masalah dan tools yang digunakan, mereka bisa masuk ke “The Zone” di mana kode seakan mengalir begitu saja dari pikiran ke jari. Ini adalah perasaan yang sangat memuaskan dan adiktif, salah satu kenikmatan terbesar dalam profesi ini.
Pro 4: Efektif untuk Belajar dan Eksplorasi
Saat mempelajari framework atau bahasa baru, cara terbaik seringkali bukan dengan membaca dokumentasi tebal dari awal sampai akhir. Cara terbaik adalah dengan “mengotori tangan”—membuat proyek kecil, mencoba berbagai fitur, melihat apa yang error, dan memperbaikinya. Ini, pada dasarnya, adalah vibe coding. Proses belajar yang didorong oleh rasa penasaran dan eksperimen ini jauh lebih cepat menancap di otak daripada teori yang kering.
Bagian 4: Sisi KONTRA – Musibah Akibat “Nge-Vibe”

Sekarang, mari kita bicara sisi gelapnya. Jika vibe coding begitu hebat, kenapa tidak semua orang melakukannya sepanjang waktu? Jawabannya: karena jika tidak dikelola, ia akan menciptakan monster.
Kontra 1: Tumpukan ‘Technical Debt’ yang Menggunung
Ini adalah musuh bebuyutan semua tim engineering. Technical debt (utang teknis) adalah konsekuensi jangka panjang dari mengambil jalan pintas sekarang.
Kode yang ditulis pakai “vibe” seringkali:
- Sulit Dibaca (Unreadable): Karena ditulis dengan cepat, programmer mungkin menggunakan nama variabel yang aneh (seperti data, temp, x), tidak mengikuti coding standard, atau membuat fungsi yang terlalu panjang dan rumit (dikenal sebagai spaghetti code).
- Tidak Tahan Uji (Brittle): Kode itu “bekerja”, tapi hanya untuk skenario yang ada di kepala si pembuat saat itu. Begitu ada data baru atau skenario edge case, kodenya langsung hancur.
- Tidak Ada Dokumentasi: Programmer yang sedang “nge-vibe” jarang berhenti untuk menulis komentar atau dokumentasi. Logikanya hanya ada di kepala mereka.
Jika si programmer itu pindah kerja, tim yang tersisa harus memegang “granat” ini. Mereka menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk memahami satu fungsi yang ditulis dalam satu jam sesi vibe coding.
Kontra 2: Mimpi Buruk Kolaborasi Tim
Software development modern adalah olahraga tim. Vibe coding pada dasarnya adalah aktivitas solo. Ini menciptakan masalah besar dalam tim:
- Kesulitan ‘Code Review’: Bagaimana Anda me-review kode yang logikanya tidak jelas? Reviewer akan bertanya, “Kenapa kamu pakai cara ini?” dan jawabannya mungkin, “Nggak tahu, pokoknya jalan.” Ini membuat frustrasi kedua belah pihak.
- Inkonsistensi: Jika setiap programmer “nge-vibe” dengan gayanya sendiri, codebase (kumpulan kode) proyek akan terlihat seperti gado-gado. Tidak ada standar, tidak ada pola desain yang konsisten.
‘Bus Factor’ Tinggi:Bus factor adalah istilah (yang agak kelam) untuk mengukur risiko proyek jika satu anggota tim kunci tiba-tiba “tertabrak bus” (atau resign). Jika hanya satu orang yang mengerti bagian krusial dari kode karena dia yang “nge-vibe” saat membuatnya, bus factor-nya sangat tinggi.
Kontra 3: Sulit di-‘Debug’ dan di-‘Maintain’
Ini adalah lanjutan dari technical debt. Bug (kesalahan program) pasti akan muncul. Saat bug muncul di kode hasil vibe coding, proses debugging bisa jadi neraka.
Bahkan si programmer aslinya, enam bulan kemudian, mungkin akan melihat kodenya sendiri dan berkata, “Dulu gue mikir apa ya pas nulis ini?” Tanpa tes, tanpa dokumentasi, dan dengan logika yang “intuitif”, menemukan sumber masalah seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Biaya maintenance (perawatan) kode ini dalam jangka panjang bisa jauh lebih mahal daripada waktu yang dihemat di awal.
Kontra 4: Mengabaikan ‘Best Practices’ Kritis
Saat sedang asyik “nge-vibe”, hal-hal “membosankan” tapi penting sering terlewat.
- Keamanan (Security): “Ah, yang penting datanya masuk dulu.” Programmer bisa lupa melakukan validasi input atau sanitasi query SQL, membuka celah untuk serangan hacker.
- Testing: Unit test atau integration test adalah jaring pengaman. Vibe coding seringkali mengabaikan ini. Akibatnya, perbaikan kecil di satu tempat bisa merusak fitur di tempat lain tanpa ada yang tahu.
Skalabilitas: Solusi yang “terasa benar” untuk 100 pengguna mungkin akan langsung kolaps saat diakses oleh 100.000 pengguna. Perencanaan performa dan skalabilitas jarang menjadi bagian dari “vibe”.
Bagian 5: Studi Kasus – Kapan Boleh ‘Vibe’, Kapan ‘Haram’?
Vibe coding bukanlah sesuatu yang “selalu baik” atau “selalu buruk”. Ini adalah alat. Seperti gergaji mesin: sangat berguna untuk menebang pohon, tapi bencana jika digunakan untuk memotong roti. Kuncinya adalah konteks.
Skenario ‘BOLEH’ (Bahkan Dianjurkan):
- Proyek Pribadi / Hobi: Ini adalah taman bermain Anda. Tidak ada tim, tidak ada deadline komersial. Mau vibe coding sampai pagi? Silakan. Ini adalah cara terbaik untuk bersenang-senang dan belajar.
- Hackathon: Waktu Anda hanya 24-48 jam. Tidak ada yang peduli dengan technical debt. Yang penting adalah demo yang berfungsi. Vibe coding adalah strategi utama di sini.
- Prototyping Cepat (Rapid Prototyping): Klien atau manajer ingin “melihat” sebuah ide. Anda bisa vibe coding untuk membuat prototype “jelek” tapi fungsional dalam sehari. Penting: Pastikan semua orang tahu bahwa kode ini harus “dibuang” dan ditulis ulang dengan benar jika idenya disetujui.
- Fase Awal R&D (Research & Development): Saat Anda menjelajahi teknologi baru atau mencoba memecahkan masalah yang belum pernah ada solusinya, perencanaan formal tidak banyak membantu. Eksplorasi ala vibe coding diperlukan di sini.
Skenario ‘HARAM’ (Sangat Tidak Dianjurkan):
- Sistem Kritis (Mission-Critical Systems): Jika kode Anda mengelola uang (perbankan), kesehatan (alat medis), atau nyawa (navigasi pesawat), vibe coding adalah tindakan kriminal. Setiap baris kode harus direncanakan, diuji, dan diaudit dengan ketat.
- Proyek Tim Besar (Large Enterprise): Dalam tim yang terdiri dari 10, 50, atau 100+ programmer, disiplin adalah raja. Coding standard, arsitektur yang disepakati, dan dokumentasi adalah lem yang menyatukan tim. Vibe coding individu akan menciptakan kekacauan.
- Kode Inti (Core Codebase): Mengutak-atik library utama, framework internal, atau sistem otentikasi perusahaan menggunakan “feeling” adalah ide buruk. Bagian-bagian ini harus stabil, teruji, dan terdokumentasi dengan baik.
- Proyek Jangka Panjang (Long-term Projects): Jika aplikasi ini diharapkan hidup selama 5-10 tahun, jangan vibe coding. Utang teknis akan menumpuk dan akhirnya membuat pengembangan fitur baru menjadi mustahil (atau sangat lambat).
Bagian 6: Menemukan Keseimbangan – ‘The Structured Vibe
Jadi, apakah kita harus memilih antara menjadi robot yang kaku atau seniman yang berantakan? Tentu tidak. Programmer terbaik di dunia tahu cara menyeimbangkan keduanya.
Mereka mempraktikkan apa yang bisa kita sebut “Vibe Terstruktur” (Structured Vibe).
Ini adalah pendekatan dua fase:
- Fase 1: The Vibe (Eksplorasi)
Gunakan intuisimu untuk menemukan solusi. Buat kodenya berantakan, cepat, dan “jelek” di branch (cabang) terpisah. Jangan khawatir soal best practice dulu. Fokus hanya pada satu hal: “Apakah ini menyelesaikan masalah?” Ini adalah fase divergen dan kreatif. - Fase 2: The Structure (Pembersihan)
Setelah Anda tahu solusinya berhasil, sekarang saatnya menjadi engineer. Berhenti sejenak, lihat kembali kode “jelek” tadi, dan tanyakan:
- “Bagaimana saya bisa merapikan ini?” (Refactoring).
- “Bagaimana saya bisa membuatnya lebih mudah dibaca?” (Nama variabel yang baik, fungsi yang lebih kecil).
- “Bagaimana saya bisa memastikan ini tidak rusak nanti?” (Writing tests).
- “Apa yang perlu diketahui oleh rekan tim saya?” (Writing documentation/comments).
Ini adalah pendekatan “dapat dua-duanya”. Anda mendapatkan kecepatan dan kreativitas dari vibe coding di awal, sekaligus mendapatkan stabilitas dan maintainability dari structured engineering di akhir. Ini membutuhkan kedisiplinan diri untuk tidak tergoda mengirimkan kode “vibe” Anda langsung ke production.
Penutup: ‘Vibe’ adalah Pelayan yang Baik, tapi Tuan yang Buruk
Vibe coding bukanlah musuh. Ia adalah bagian alami dari proses kreatif dalam programming. Ia adalah percikan api yang menyalakan inovasi dan memberikan kecepatan saat kita paling membutuhkannya. Mengandalkan “feeling” menunjukkan bahwa seorang programmer telah menginternalisasi begitu banyak pola dan pengetahuan sehingga solusi bisa muncul secara intuitif.
Namun, intuisi saja tidak cukup untuk membangun perangkat lunak yang andal, skalabel, dan tahan lama. Di situlah letak pentingnya disiplin, struktur, best practice, dan kerja sama tim.
Programmer hebat bukanlah mereka yang hanya jago nge-vibe atau hanya kaku mengikuti aturan. Programmer terhebat adalah mereka yang tahu kapan harus melepaskan intuisi mereka, dan kapan harus menarik rem tangan untuk merapikan, menguji, dan mendokumentasikan hasil intuisi tersebut.
Jadi, lain kali Anda merasa “vibe” itu datang, nikmati alirannya. Tapi ingat, setelah pesta selesai, selalu ada tugas untuk bersih-bersih.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu #TimVibe atau #TimStruktur? Atau kamu punya cara sendiri untuk menyeimbangkan keduanya?








Leave a Comment