Lingkungan keraton kita kembali mendapat titah baru—atau mungkin lebih tepatnya, angin kencang—berupa seruan pengetatan tata krama abdi dalem. Sebuah sabda yang, di atas lontar, terlihat sangat mulia. Siapa yang tidak setuju kalau abdi dalem harus jadi teladan? Kita semua merindukan sosok kawula yang sempurna: datang sebelum matahari terbit, pulang setelah gapura ditutup, dan mengabdi tanpa kenal lelah.
Tentu saja, untuk mencapai kesempurnaan itu, dibutuhkan pepecut (cambuk). Ancaman hukuman adalah bumbu penyedap yang pas. Logis, bukan? Bagaimana lagi cara memotivasi para kawula ini selain dengan tongkat (bukan anugerah)?

Maka, mari kita sambut era baru di mana abdi dalem harus 100% patuh seperti wayang yang dimainkan dalang.
Di era ini, urusan kemanusiaan dan sosial adalah “gangguan” yang tidak bisa ditolerir. Misalnya, ada abdi dalem yang telat 10 menit sowan (menghadap) karena harus mengantar anaknya yang sakit panas ke tabib. Wah, ini jelas pelanggaran berat! Tidak punya tata krama. Harusnya, sang anak bisa disuruh berangkat sendiri ke tabib, atau mungkin dititipkan saja di pos penjagaan gerbang.
Atau bagaimana dengan abdi dalem yang terpaksa izin setengah hari karena ada kerabat dekat yang meninggal di desa? “Ah, alasan klasik,” mungkin begitu kata sistem keraton. Urusan sosial dan gotong royong di masyarakat? Itu urusan di luar jam mengabdi. Padahal jam mengabdi seorang kawula (kalau dihitung dengan semua urusan tetek bengeknya) sepertinya 24/7.
Tapi, tunggu dulu. Kerasnya wewaler (aturan) baja ini ternyata bisa mendadak jadi selembut jenang (dodol) jika kena orang yang tepat.
Di sinilah letak keindahan sistem yang sesungguhnya. Ada sebuah rahasia umum yang lebih sakti dari surat sakit manapun: “Jalur Caket Kanjeng” (Jalur Dekat Tuan).
Kita semua pasti pernah melihat fenomena ini. Ada seorang abdi dalem yang tingkat kehadirannya di paseban (aula) mungkin kalah dengan abdi dalem magang yang paling rajin.
Namun, catatannya selalu aman, kariernya mulus, dan namanya selalu wangi di telinga Gusti Prabu. Apa rahasianya?
Jawabannya sederhana: skill “pandai membawa diri” yang mumpuni.
Kalau Anda bisa rutin “sowan pribadi” di pagi hari dengan lingkar kekuasaan, atau punya hobi yang sama dengan “Ndoro Tuan”, aturan disiplin yang kaku itu mendadak jadi sangat fleksibel. Telat datang ke pendopo? Ah, mungkin sedang “berdiskusi empat mata” di kraton jero (istana dalam). Sering tidak hadir? “Pasti sedang ada titah khusus” yang tak terlihat mata biasa.
Ini adalah bentuk pengabdian tingkat tinggi: disiplin menjaga hubungan baik dengan sang penguasa.
Para kawula alit (rakyat jelata) dan abdi dalem junior di kerajaan itu pun mendapat pelajaran berharga. Mereka tidak hanya belajar tata krama, tapi juga belajar “Ilmu Kehidupan Nyata”. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa wewaler itu dibuat untuk ditaati… oleh sebagian orang. Sementara sebagian lainnya, punya “kartu sakti”.
Pada akhirnya, kita semua harus bertepuk tangan. Titah Raja berhasil menciptakan aturan yang tegas. Keraton pun berhasil menerapkannya… secara selektif.
Ancaman hukuman itu nyata bagi mereka yang sibuk mengurus kemanusiaan, tapi hanya jadi bahan bercanda bagi mereka yang pintar “menempatkan diri”. Bravo! Yang penting, di atas lontar, laporan kepatuhan kita terlihat sempurna. Soal standar ganda? Ah, itu ‘kan bagian dari kearifan lokal keraton.
TAPI INI BUKAN TENTANG KERAJAAN/KERATON


Leave a Comment